Jumat, 29 April 2011

Ilegal logging


RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIS
RUU TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PEMBALAKAN LIAR

A.           Materi Muatan Rancangan Undang-Undang
Materi muatan yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pembalakan Liar ini secara umum menjawab permasalahan seputar upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar, kelembagaan dan koordinasi antar pelaksana dan penanggungjawab program pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar serta bagaimana sistem pemberian sanksi yang efektif dan memberikan efek jera bagi pelaku pembalakan liar. Dalam upaya pencegahan, diatur mengenai kebijakan yang bersifat sementara (temporer) dan mendesak untuk dilaksanakan guna menunjang terlaksananya upaya-upaya pencegahan pembalakan liar. Kebijakan tersebut berskala nasional dan mengacu pada target-target sasaran dengan jangka waktu tertentu dengan tujuan menyeimbangkan kondisi industri dan pasokan kayu legal. Selain itu terdapat upaya pencegahan yang bersifat berkesinambungan seperti kegiatan-kegiatan dalam rangka menghilangkan kesempatan timbulnya pembalakan liar itu sendiri terkait dengan penjagaan kawasan hutan. usaha pemberdayaan masyarakat dan penyuluhan juga merupakan salah satu upaya pencegahan yang dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan.
Adapun upaya pemberantasan pembalakan liar merupakan upaya atau penindakan secara hukum terhadap pelaku pembalakan liar. Rancangan undang-Undang ini menyiapkan perangkat hukum materiil yang memuat jenis-jenis kegiatan pembalakan liar baik secara langsung maupun tidak langsung, melibatkan pejabat atau perseorangan, dengan pelaku individu maupun badan hukum termasuk korporasi. Selain itu pada bab pemberantasan ini diatur pula mengenai hukum formil sebagai landasan beracara dalam menyelesaikan perkara pembalakan liar muali dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan. Sebagai rujukan, RUU ini juga memuat ketentuan pidana yang memiliki disparitas dalam penetapan berat ringannya hukuman sesuai dengan tingkat kejahatan dan faktor-faktor pemberat dan peringan hukuman.
Sebagai pelaksana dan penanggung jawab secara nasional dari berbagai upaya dan program pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar, RUU ini mengamanatkan dibentuknya suatu tim koordinasi yang pada praktiknya bukanlah suatu lembaga baru tetapi lebih pada mengefektifkan koordinasi dari beberapa instansi terkait dibawah satu atap koordinasi. Tim ini berada di pusat dan daerah tingkat provinsi. Guna mengefektifkan upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar, tim tersebut diberi beberapa tugas dan kewenangan. RUU ini dilengkapi pula dengan pengaturan mengenai bagaimana masyarakat dapat berperan serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar, bentuk-bentuk kerjasama internasional yang dapat dilakukan guna mendorong dan mensukseskan upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dengan melibatkan dunia internasional secara aktif. Dalam rangka memberikan jaminan bagi pihak-pihak yang berjasa dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar diatur pula ketentuan mengenai pembiayaan dan insentif. Sedangkan bagi masyarakat yang bertindak baik sebagai pelapor, informan maupun saksi, RUU ini juga mengatur tentang perlindungan keamanan dan hukum bagi mereka beserta keluarga.
Secara berurutan, materi muatan dari RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar ini mengatur tentang:
1.    Konsiderans.
Konsiderans menimbang merupakan intisari dari landasan pemikiran yang merupakan dasar filosofis, sosiologis dan yuridis dari pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar.


2.    Dasar Hukum Mengingat.
Dasar hukum mengingat memuat dasar kewenangan pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar yakni Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; serta Undang-Undang yang memerintahkan dan terkait langsung dengan pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) dan Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).
3.    Ketentuan Umum.
Ketentuan umum dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar berisi batasan pengertian dan definisi dari beberapa istilah yang digunakan dalam rancangan undang-undang yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya, disebut secara berulang-ulang dan membutuhkan pengertian atau batasan yang jelas. Ketentuan umum disusun secara berurut dari norma yang bersifat umum kepada yang khusus dan dari norma yang diatur lebih dahulu dalam pasal. Ketentuan umum tersebut antara lain:
a.  Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komoditas alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
b.  Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
c.   Pembalakan liar adalah kegiatan pemanfaatan hutan secara tidak sah, yang meliputi  proses perizinan pemanfaatan hutan, penebangan, pengangkutan, peredaran, penyelundupan, penjualan, dan/atau  pemanfaatan kayu lebih lanjut.
d.  Pencegahan pembalakan liar adalah segala upaya yang dilakukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya pembalakan liar.
e.  Pemberantasan pembalakan liar adalah segala upaya yang dilakukan untuk menindak secara hukum pelaku pembalakan liar langsung atau tidak langsung atau yang terkait lainnya.
f.    Penyuluhan adalah  kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan.
g.  Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
h.  Insentif adalah pemberian sesuatu yang mempunyai nilai terhadap jasa perseorangan, masyarakat, badan hukum, korporasi, dan/atau Pemerintah Daerah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar.
4.      Asas dan Tujuan
Upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar berlandaskan pada asas-asas:
a.   tanggung jawab negara;
b.   keberlanjutan;
c.   keadilan dan kepastian hukum;
d.   bertanggung gugat;
e.   prioritas; dan
f.    keterpaduan dan koordinasi.

Adapun tujuan dari upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar:
a.  menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya;
b.  mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan memperhatikan keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat sejahtera;
c.   meningkatkan kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar; dan
d. memberikan efek jera bagi pelaku pembalakan liar.
5. Pencegahan Pembalakan Liar
Pencegahan pembalakan liar dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah daerah, selain itu masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan hutan juga dapat ikut berpartisipasi dalam pencegahan pembalakan liar.
Dalam rangka pencegahan pembalakan liar Pemerintah membuat kebijakan berupa:
a.  rasionalisasi industri pengolahan kayu;
b.  penetapan sumber kayu alternatif;
c.   promosi dan perlindungan perdagangan kayu legal;
d.  perbaikan tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas dibidang kehutanan; dan
e.  klarifikasi peranan dan kewenangan dari berbagai tingkatan pemerintahan di bidang pengelolaan hutan.
Selain membuat kebijakan, usaha pencegahan pembalakan liar dilakukan dengan menghilangkan kesempatan timbulnya pembalakan liar, pemberdayaan masyarakat, dan penyuluhan. Untuk menghilangkan kesempatan timbulnya pembalakan liar dilakukan melalui kegiatan:
a.      pemantapan kawasan hutan;
b.      menjaga kawasan hutan dan hasil hutan;
c.      patroli;
d.      koordinasi ;
e.      meningkatkan kapasitas jaringan informasi;
f.       meningkatkan produktivitas masyarakat;
g.      memfasilitasi terbentuknya kelembagaan masyarakat; dan
h.      mendorong terciptanya alternatif mata pencaharian masyarakat.
       
        Sedangkan pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui:
a.      membentuk hutan desa;
b.      membentuk hutan kemasyarakatan; atau
c.      membangun kemitraan.

6.    Pemberantasan Pembalakan Liar.
        Pemberantasan pembalakan liar dilakukan dengan cara menindak secara hukum pelaku pembalakan liar langsung, tidak langsung, atau yang melibatkan pejabat. Tindakan secara hukum meliputi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Mengingat kekhususan dari perkara pembalakan liar, selain mengacu pada KUHAP, RUU ini membuat beberapa aturan khusus yang mengesampingkan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Perkara pembalakan liar termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke sidang pengadilan guna penyelesaian secepatnya (asas prioritas).
        Bab pemberantasan ini memuat norma-norma larangan mengenai kategori dan jenis kegiatan pembalakan liar dari hulu sampai hilir, kegiatan yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dan keterlibatan pejabat baik secara langsung langsung maupun tidak langsung dengan pelaku individu, pejabat maupun badan hukum termasuk korporasi. Pada bagian selanjutnya diatur mengenai hukum acara menyangkut proses dan mekanisme penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
1)          Kegiatan pembalakan liar (secara lansung) meliputi:
a.  melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai izin pemanfaatan hutan;
b.  melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;
c.   melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah;
d.  memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil pembalakan liar;
e.  membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
f.    membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
g.  memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar;
h.  mengedarkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui darat, perairan atau udara; dan/atau
i.    menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari pembalakan liar.
2)     Kegiatan pembalakan liar (secara tidak langsung) meliputi:
a.  menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar;
b.  turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar;
c.   melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar;
d.  mendanai pembalakan liar secara langsung atau tidak langsung;
e.  menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar;
f.    mencuci kayu hasil pembalakan liar seolah-olah menjadi kayu yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri;
g.  menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, dan/atau menukarkan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar; dan/atau
h.  menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
3)     Kegiatan pembalakan liar yang melibatkan pejabat antara lain:
a.  menerbitkan izin pemanfaatan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai kewenangnya;
b.  menerbitkan izin pemanfaatan di dalam kawasan hutan yang yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.   melindungi pelaku pembalakan liar;
d.  turut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar;
e.  melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar;
f.    menerbitkan SKSHH tanpa hak; dan/atau
g.  melakukan pembiaran dan/atau kelalaian dalam melaksanakan tugas.

4)  Kegiatan lain yang terkait proses pembalakan liar:
a.  mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar.
b.  memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar yang berasal dari kawasan konservasi.
c.   menghalang-halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar.
d.  melakukan intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar
e.  memalsukan surat izin pemanfaatan hutan.
f.    menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hutan
g.  memalsukan SKSHH.
h.  menggunakan SKSHH palsu
i.    melakukan penyalahgunaan dokumen  angkutan hasil hutan hutan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.
j.    merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar
k.   merusak, memindahkan dan menghilangkan pal batas hutan dengan negara lain.
Pada bagian hukum acara menyangkut proses dan mekanisme penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan memuat mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim dalam kepentingan proses beracara tersebut,  jangka waktu penyelesaian perkara, alat bukti, penyitaan dan penyimpanan barang sitaan dan proses berpekara di siding pengadilan.
Dalam rangka penyidikan, RUU ini memberikan kewenangan kepada PPNS sebagai berikut:
a.  melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana pembalakan liar;
b.  melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana pembalakan liar;
c.   meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana pembalakan liar;
d.  melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana pembalakan liar;
e.  melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan  yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana pembalakan liar; dan
f.    meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana pembalakan liar.

Selain itu untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang :
a.  meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
b.  meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga sebagai hasil penebangan liar.
c.   meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada unit kerja terkait.
d.  meminta bantuan kepada Pusat dan Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk melakukan penyelidikan atau data keuangan tersangka.
e.  menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dimasukkan dalam daftar pencarian orang;
f.    meminta kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.

Adapun alat bukti dalam pemeriksaan perkara pembalakan liar, meliputi:
a.  alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
b.  alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan/atau
c.   data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, berupa:
1)        tulisan, suara atau gambar;
2)        peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan/atau
         huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya
Adapun penyelesaian perkara pembalakan liar di tingkat penyidikan adalah 45 (empat puluh lima) hari sejak dimulainya penyidikan dan tambahan 30 (tiga puluh) hari untuk penyidikan lanjutan. Sedangkan di tingkat pengadilan perkara pembalakan liar diperiksa dan diputus oleh pengadilan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum. Untuk banding, diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari  kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi. Untuk kasasi, diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 50 (lima puluh hari) hari  kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.




7.    Koordinasi Pencegahan dan Pemberantasan Pembalaka Liar
         RUU ini mengamanatkan pembentukan suatu sistem koordinasi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar secara fungsional dan terkoordinasi lintas departemen dan instansi pemerintahan, baik di tingkat Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi. Dalam pelaksanaannya, Presiden membentuk Tim Koordinasi P3L yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dan Menteri Kehutanan dengan mengendalikan departemen dan badan-badan terkait di bidang:
a.  kehutanan;
b.  lingkungan hidup;
c.   pemerintahan dalam negeri;
d.  hubungan luar negeri;
e.  sosial;
f.    pengembangan usaha kecil menengah;
g.  ketenagakerjaan;
h.  perdagangan;
i.    perindustrian;
j.    pertanian;
k.   keuangan;
l.    perhubungan;
m. pertahanan dan keamanan;
n.  Kepolisian Negara Republik Indonesia;
o.  Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
p.  Tentara Nasional Indonesia;
q.  Badan Intelijen Negara; dan
r.    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Tim Koordinasi P3L memiliki tugas:
a.  mengkoordinasikan instansi yang terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan di bidang pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar;
b.  mengkoordinasikan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar;
c.   melaksanakan penegakan hukum pembalakan liar;
d.  melaksanakan pembinaan  pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar;
e.  melaksanakan kerja sama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar;
f.    melaksanakan kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi;
g.  melaksanakan kerja sama dengan lembaga keuangan dalam rangka pemberantasan pembalakan liar; dan
h.  menetapkan sistem pelaporan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar.

Dalam melaksanakan tugasnya Tim Koordinasi P3L diberi wewenang:
a.  merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pencegahan pembalakan liar;
b.  melaksanakan kampanye anti pembalakan liar;
c.   membangun dan mengembangkan sistem informasi pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar;
d.  membangun, mengembangkan, dan membina jejaring sosial anti pembalakan liar;
e.  melakukan kerja sama dengan para pihak terkait dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar;
f.    melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pembalakan liar; dan
g.  memantau penanganan perkara pembalakan liar.

Dalam menjalankan tugasnya Tim P3L pusat berkewajiban memberikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat setiap 6 (enam) bulan sedangkan Tim P3L daerah berkewajiban memberikan laporan kepada Tim P3L Pusat setiap 3 (tiga) bulan.



8.    Peran Serta Masyarakat
Kesadaran hukum masyarakat yang tinggi sangat menunjang upaya penegakan hukum, karena masyarakat menyadari dan memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara secara  selaras, serasi dan seimbang. Kesadaran hukum yang dimiliki masyarakat seperti itu mengarah pada dua hal yakni pertama, kepatuhan terhadap hukum karena menyadari bahwa pada dasarnya  kehidupan yang tertib, teratur, aman dan tentram itu tidak terlepas dari adanya hukum dan tegaknya hukum. Kedua,  kemauan untuk turut  memikul tanggung jawab dalam menegakkan hukum karena menyadari bahwa tegaknya hukum merupakan kepentingan dan keperluan bersama.
Dalam penegakkan hukum untuk memberantas kegiatan pembalakan liar  pihak yang berwenang, baik Dinas Kehutanan maupun Kepolisian setempat banyak dibantu oleh masyarakat/partisipasi masyarakat melalui pemberian informasi baik lisan maupun tulisan (menggunakan SMS atau website), laporan tertulis atau laporan dalam bentuk penyampaian pendapat. Peran serta masyarakat tersebut merupakan respons balik terhadap dibukanya akses informasi yang disediakan oleh Tim Koordinasi P3L untuk menerima semua laporan dari masyarakat berkaitan dengan pemberantasan pembalakan liar.
Cara lain yang dapat ditempuh oleh masyarakat dalam memberantas pembalakan liar adalah dengan bergabung dengan Organisas/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kehutanan atau lingkungan hidup yang terdapat di daerah. Dengan demikian peran serta masyarakat merupakan inti keberhasilan dalam memberantas penebangan pohon di dalam hutan secara tidak sah dan dalam mengembalikan kualitas hutan yang sudah rusak. Apabila ketiga fungsi hutan (fungsi ekonomi, fungsi sosial, dan fungsi lingkungan) sudah berjalan sebagaimana mestinya, maka masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan secara optimal sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan itu sendiri
9.    Kerjasama Internasional.

Menyadari bahwa isu pembalakan liar telah menjadi permasalahan global, maka RUU ini merekomendasikan Pemerintah maupun pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama internasional baik di tingkat bilateral, regional maupun multilateral dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar. Dalam upaya pencegahan terdapat beberapa bentuk kerjasama yang mungkin dilakukan antara lain:
a.   pelaksanaan konservasi;
b.    pelaksanaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan;
c.    peningkatan forest carbon stock; dan
d.    pemberdayaan masyarakat.

Sedangkan di bidang pemberantasan dan penegakan hukum, kerjasama dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang sudah mengatur hal tersebut mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan. Dalam hal ini pemerintah juga dapat berperan aktif dan melakukan tindakan atau upaya hukum dalam hal terjadinya perkara timber money laundering yang melibatkan Negara lain.

10. Pembiayaan dan Pemberian Insentif
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Undang-Undang ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, hasil lelang, dan sumber dana lainnya yang sah. Kemudian Untuk lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam memberantas penebangan pohon di dalam hutan secara tidak sah, maka masyarakat perlu digugah untuk terus berperan serta, caranya antara lain dengan memberikan penghargaan (reward) kepada mereka. Pemberian insentif ini juga berlaku bagi seluruh pihak yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar baik perseorangan, badan hukum, pihak penegak hukum sendiri bahkan Pemerintah daerah yang dinilai berhasil dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar diberi insentif berupa hak anggaran tambahan.

11. Perlindungan Saksi, Pelapor dan Informan.
Agar peran serta masyarakat dapat bermanfaat dan dilakukan secara berkesinambungan, maka pihak berwenang harus segera menindaklanjuti laporan tersebut, antara lain dengan melakukan pengecekan terhadap kebenaran dari setiap laporan tersebut. Masyarakat baik yang melapor, menjadi saksi maupun informan juga harus dilindungi identitasnya demi keselamatan hidupnya. Perlindungan tersebut mencakup perlindungan keamanan dan perlindungan hukum. Pelaksanaan dan mekanisme perlindungan ini pada hakikatnya diatur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

12. Ketentuan Pidana
Dalam menentukan besaran dan disparitas sanksi pidana terhadap tindak pidana yang dilanggar telah dilakukan simulasi dan perbandingan dengen beberapa peraturan perundang-undangan lain.
Mengingat rangkaian kegiatan pembalakan liar sendiri terdiri dari beberapa kegiatan dan melibatkan beberapa macam pelaku maka setidaknya terdapat tiga pengelompokan besar:
Untuk kategori pelanggaran terhadap norma larangan menyangkut kegiatan pembalakan liar secara langsung yang dilakukan oleh setiap orang baik perseorangan maupun badan hukum (baik yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia) dikenai pidana penjara mulai dari 1 (satu) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dengan denda mulai dari Rp. 500 000 000,- sampai dengan Rp. 15 000 000 000,-. Adapun untuk kategori pelanggaran terhadap norma larangan menyangkut kegiatan pembalakan liar secara tidak langsung yang dilakukan oleh setiap orang baik perseorangan maupun badan hukum (baik yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia) dikenai pidana penjara mulai dari 10 (sepuluh) tahun sampai dengan 25 (dua puluh lima) tahun dengan denda mulai dari Rp. 10 000 000 000,- sampai dengan Rp.100 000 000 000,-. Dengan ketentuan bahwa selain sanksi pidana, bagi pelaku badan hukum termasuk korporasi yang melakukan kegiatan pembalakan liar yang menimbulkan kerusakan lingkungan dikenai pidana administratif berupa:
a.     paksaan pemerintah;
b.     uang paksa; dan/atau
c.      pencabutan izin
Dalam hal pejabat melanggar norma larangan menyangkut penerbitan izin dan hal-hal yang terkait dengan kewenagannya dipidana dengan pidana penjara mulai 1 (satu) tahun sampai 10 (sepuluh) tahun, dengan denda mulai dari Rp. 500 000 000,- sampai dengan Rp.10 000 000 000,-.  Sedangkan pejabat yang melakukan kegiatan pembalakan liar baik langsung maupun tidak langsung, pidanya diperberat 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokoknya.  Selain penjatuhan sanksi pidana, dikenakan juga uang pengganti, dan apabila tidak terpenuhi, maka terdakwa dapat dikenakan hukuman badan.

13. Ketentuan Peralihan
        Untuk mengantisipasi kekosongan hukum akibat peralihan dari peraturan perundang-undangan yang lama, maka pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua perkara tindak pidana pembalakan liar yang telah dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) tetap dilanjutkan sampai memperoleh putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

14. Ketentuan Penutup
Selain menyatakan mulai berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan penutup juga menyatakan tidak berlaku dan dicabutnya beberapa peraturan perundang-undangan yang secara substansi sudah dirubah oleh Undang-Undang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar